RSS Feed

Perang Mahabharata

Posted by: HAFIZH SMA 1 SRAGEN / Category:
LATAR BELAKANG

Perang di Kurukshetra (Dewanagari: कुरुक्षेत्रयुद्ध; ,IAST: Kurukshetrayuddha, कुरुक्षेत्रयुद्ध), yang merupakan bagian penting dari wiracarita Mahabharata, dilatarbelakangi perebutan kekuasaan antara lima putra Pandu (Pandawa) dengan seratus putra Dretarastra (Korawa). Dataran Kurukshetra yang menjadi lokasi pertempuran ini masih bisa dikunjungi dan disaksikan sampai sekarang. Kurukshetra terletak di negara bagian Haryana, India.

Pertempuran tersebut tidak diketahui dengan pasti kapan terjadinya, sehingga kadang-kadang disebut terjadi pada "Era Mitologi". Beberapa peninggalan puing-puing di Kurukshetra (seperti misalnya benteng) diduga sebagai bukti arkeologinya. Menurut kitab Bhagawadgita, perang di Kurukshetra terjadi 3000 tahun sebelum tahun Masehi (5000 tahun yang lalu) dan hal tersebut menjadi referensi yang terkenal.[2]

Meskipun pertempuran tersebut merupakan pertikaian antar dua keluarga dalam satu dinasti, namun juga melibatkan berbagai kerajaan di daratan India pada masa lampau. Pertempuran tersebut terjadi selama 18 hari, dan jutaan tentara dari kedua belah pihak gugur. Perang tersebut mengakibatkan banyaknya wanita yang menjadi janda dan banyak anak-anak yang menjadi anak yatim. Perang ini juga mengakibatkan krisis di daratan India dan merupakan gerbang menuju zaman Kaliyuga, zaman kehancuran menurut kepercayaan Hindu.
Perang di Kurukshetra merupakan klimaks dari Mahābhārata, sebuah wiracarita tentang pertikaian Dinasti Kuru sebagai titik sentralnya. Perebutan kekuasaan yang merupakan penyebab perang ini, terjadi karena para putra Dretarastra tidak mau menyerahkan tahta kerajaan Kuru kepada saudara mereka yang lebih tua, yaitu Yudistira, salah satu lima putra Pandu alias Pandawa. Nama Kurukshetra yang menjadi lokasi pertempuran ini bermakna "daratan Kuru", yang juga disebut Dharmakshetra atau "daratan keadilan". Lokasi ini dipilih sebagai ajang pertempuran karena merupakan tanah yang dianggap suci oleh umat Hindu. Dosa-dosa apa pun yang dilakukan di sana pasti dapat terampuni berkat kesucian daerah ini.[3]

Dalam kitab Mahabharata disebutkan bahwa pangeran Dretarastra yang buta sejak lahir terpaksa menyerahkan takhta kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahan di Hastinapura kepada adiknya, Pandu, meskipun dia merupakan putra sulung. Pandu berputra lima orang, yang dikenal dengan sebutan Pandawa, dengan Yudistira sebagai putra sulung. Setelah Pandu wafat, Dretarastra menggantikan posisinya sebagai kepala pemerintahan sementara sampai kelak putra sulung Pandu dewasa.[2] Kelima putra Pandu (Pandawa) dan seratus putra Dretarastra (Korawa) tinggal bersama di istana Hastinapura dan dididik oleh guru yang sama, bernama Drona dan Krepa. Disamping itu, mereka dibimbing oleh seorang bijak bernama Bisma, kakek mereka. Oleh guru dan kakeknya, Yudistira dianggap pantas meneruskan takhta Kerajaan Kuru, sebab ia berkepribadian baik. Disamping itu, Yudistira merupakan pangeran yang tertua di antara saudara-saudaranya.

Para Korawa, khususnya Duryodana, berambisi menguasai takhta Dinasti Kuru. Namun ambisi tersebut terhalangi sebab Yudistira dipandang lebih layak menjadi Raja Kuru daripada Duryodana. Untuk mewujudkan ambisinya, Duryodana berusaha menyingkirkan Yudistira dan para Pandawa dengan berbagai upaya, termasuk melakukan usaha pembunuhan. Namun kelima putra Pandu tersebut selalu selamat dari kematian, berkat perlindungan dari pamannya dan sepupu mereka, yaitu Widura dan Kresna.[2].
Sebuah pohon beringin yang dikeramatkan di Kurukshetra, yang dianggap sebagai saksi bisu saat Sri Kresna menurunkan sloka-sloka suci dalam kitab Bhagawadgita, sesaat sebelum perang berlangsung.

Setelah gagal dalam usaha pembunuhan, kemudian Korawa memutuskan untuk menipu para Pandawa dengan cara mengajak mereka bermain dadu, dengan syarat yang kalah harus meninggalkan istana selama tiga belas tahun. Permainan dadu yang sudah disetel dengan licik mengakibatkan Pandawa kalah, sehingga mereka harus meninggalkan kerajaan selama tiga belas tahun dan terpaksa mengasingkan diri ke hutan. Sebelum Pandawa dibuang, Dretarastra berjanji akan menyerahkan takhta kerajaan Kuru kepada Yudistira sebab ia merupakan putra mahkota Dinasti Kuru yang sulung.

Setelah masa pengasingan selama tiga belas tahun berakhir, sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak meminta kembali kerajaannya. Namun Duryodana menolak mentah-mentah untuk menyerahkan kembali kerajaannya. Meskipun mendapatkan tanggapan seperti itu, Yudistira dan adik-adiknya masih mampu bersabar. Sebagai seorang pangeran, Pandawa merasa wajib dan berhak turut serta dalam administrasi pemerintahan, maka mereka meminta lima buah desa saja. Tetapi Duryodana sombong dan berkata bahwa ia tidak bersedia memberikan tanah kepada para Pandawa, bahkan yang seluas ujung jarum pun. Jawaban itu membuat para Pandawa tidak bisa bersabar lagi dan perang tak bisa dihindari. Di pihak lain, Duryodana pun sudah mengharapkan peperangan.[2]
Sebelum keputusan untuk berperang diumumkan, para Pandawa berusaha mencari sekutu dengan mengirimkan surat permohonan kepada para raja di daratan India Kuno agar mau mengirimkan pasukannya untuk membantu para Pandawa jika perang tidak batal dilakukan. Begitu juga yang dilakukan oleh para Korawa, mencari sekutu. Hal itu membuat para raja di daratan India Kuno terbagi menjadi dua pihak, pihak Pandawa dan pihak Korawa.

Sementara itu, Kresna mencoba untuk melakukan perundingan damai. Kresna pergi ke Hastinapura untuk mengusulkan perdamaian antara pihak Pandawa dan Korawa. Namun Duryodana menolak usul Kresna dan merasa dilecehkan, maka ia menyuruh para prajuritnya untuk menangkap Kresna sebelum meninggalkan istana. Tetapi Kresna bukanlah manusia biasa. Ia mengeluarkan sinar menyilaukan yang membutakan mata para prajurit Duryodana yang hendak menangkapnya. Pada saat itu pula ia menunjukkan bentuk rohaninya yang hanya disaksikan oleh tiga orang berhati suci: Bisma, Drona, dan Widura.

Setelah Kresna meninggalkan istana Hastinapura, ia pergi ke Uplaplawya untuk memberitahu para Pandawa bahwa perang tak akan bisa dicegah lagi. Ia meminta agar para Pandawa menyiapkan tentara dan memberitahu para sekutu bahwa perang besar akan terjadi.
Kresna tidak bersedia bertempur secara pribadi. Ia mengajukan pilihan kepada para Pandawa dan Korawa, bahwa salah satu boleh meminta pasukan Kresna yang jumlahnya besar sementara yang lain boleh memanfaatkan tenaganya sebagai seorang ksatria. Mendapat kesempatan itu, Arjuna dan Duryodana pergi ke Dwaraka untuk memilih salah satu dari dua pilihan tersebut.

Duryodana jenius di bidang politik, maka ia memilih tentara Kresna. Sedangkan para Pandawa yang diwakili Arjuna, bersemangat untuk meminta tenaga Sri Kresna sebagai seorang penasihat dan memintanya agar bertempur tanpa senjata di medan laga. Sri Kresna bersedia mengabulkan permohonan tersebut, dan kedua belah pihak merasa puas.

Pandawa telah mendapatkan tenaga Kresna, sementara Korawa telah mendapatkan tentara Kresna. Persiapan perang dimatangkan. Sekutu kedua belah pihak yang terdiri dari para Raja dan ksatria gagah perkasa dengan diringi pasukan yang jumlahnya sangat besar berdatangan dari berbagai penjuru India dan berkumpul di markasnya masing-masing. Pandawa memiliki tujuh divisi sementara Korawa memiliki sebelas divisi. Beberapa kerajaan pada zaman India kuno seperti Kerajaan Dwaraka, Kerajaan Kasi, Kerajaan Kekeya, Magada, Matsya, Chedi, Pandya dan wangsa Yadu dari Mandura bersekutu dengan para Pandawa; sementara sekutu para Korawa terdiri dari Raja Pragjyotisha, Raja Angga, Raja Kekaya, Raja Sindhu, kerajaan Kosala, Kerajaan Awanti, Kerajaan Madra, Kerajaan Gandhara, Kerajaan Bahlika, Kamboja, dan masih banyak lagi.

Pasukan Pandawa dibagi menjadi tujuh divisi. Setiap divisi dipimpin oleh Raja Drupada dan kedua putranya — Pangeran Drestadyumna dan Pangeran Srikandi — dari Panchala, Raja Wirata dari Matsya, Satyaki, Cekitana dan Bima. Setelah berunding dengan para pemimpin mereka, para Pandawa menunjuk Drestadyumna sebagai panglima perang pasukan Pandawa. Kitab Mahabharata menyebutkan bahwa seluruh kerajaan di daratan India utara bersekutu dengan Pandawa dan memberikannya pasukan yang jumlahnya besar. Beberapa di antara mereka yakni: Kerajaan Kekeya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha, dan masih banyak lagi.

Duryodana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Korawa. Bisma menerimanya dengan perasaan bahwa ketika ia bertarung dengan tulus ikhlas, ia tidak akan tega menyakiti para Pandawa. Bisma juga tidak ingin bertarung di sisi Karna dan tidak akan membiarkannya menyerang Pandawa tanpa aba-aba darinya. Bisma juga tidak ingin dia dan Karna menyerang Pandawa bersamaan dengan ksatria Korawa lainnya. Ia tidak ingin penyerangan secara serentak dilakukan oleh Karna dengan alasan bahwa kasta Karna lebih rendah daripada kastanya. Bagaimanapun juga, Duryodana memaklumi keadaan Bisma dan mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Pasukan dibagi menjadi sebelas divisi. Seratus Korawa dipimpin oleh Duryodana sendiri bersama dengan adiknya — Dursasana, putera kedua Dretarastra, dan dalam pertempuran tersebut Korawa dibantu oleh Drona dan putranya Aswatama, kakak ipar para Korawa — Jayadrata, serta guru mereka — Krepa. Selain itu, turut pula Kertawarma dari Wangsa Yadawa, Salya dari Madra, Sudaksina dari Kamboja, Burisrawa putra Somadatta, Raja Bahlika, Sangkuni dari Gandhara, Wrehadbala Raja Kosala, Winda dan Anuwinda dari Awanti, dan masih banyak lagi para ksatria dan raja yang memihak Korawa demi Hastinapura maupun Dretarastra.

Divisi pasukan dan persenjataan

Setiap pihak memiliki jumlah pasukan yang besar. Pasukan tersebut dibagi ke dalam divisi (aksohini). Setiap divisi berjumlah 218.700 prajurit yang terdiri dari:

* 21.870 pasukan berkereta kuda
* 21.870 pasukan penunggang gajah
* 65.610 pasukan penunggang kuda
* 109.350 tentara biasa (infantri)

Perbandingan jumlah mereka adalah 1:1:3:5. Pasukan pandawa memiliki 7 divisi, total pasukan=1.530.900 orang. Pasukan Korawa memiliki 11 divisi, total pasukan=2.405.700 orang. Total seluruh pasukan yang terlibat dalam perang=3.936.600 orang. Jumlah pasukan yang terlibat dalam perang sangat banyak sebab divisi pasukan kedua belah pihak merupakan gabungan dari divisi pasukan kerajaan lain di seluruh daratan India.

Senjata yang digunakan dalam perang di Kurukshetra merupakan senjata kuno dan primitif, contohya: panah; tombak; pedang; golok; kapak-perang; gada; dan sebagainya. Para kesatria terkemuka seperti Arjuna, Bisma, Karna, Aswatama, Drona, dan Abimanyu, memilih senjata panah karena sesuai dengan keahlian mereka. Bima dan Duryodana memilih senjata gada untuk bertarung. Meskipun demikian, tidak selamanya kesatria tersebut hanya menggunakan satu jenis senjata saja. Kadangkala, Bima menggunakan panah, sedangkan Abimanyu menggunakan pedang.
[sunting] Formasi militer
Ilustrasi formasi Cakrabyuha (formasi melingkar), salah satu formasi perang yang digunakan oleh pihak Korawa.

Formasi militer adalah hal yang penting untuk mencapai kemenangan dalam peperangan. Dengan formasi yang baik dan sempurna, maka musuh juga lebih mudah ditaklukkan. Ada beberapa formasi militer yang disebutkan dalam Mahabharata, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Beberapa macam formasi militer tersebut sebagai berikut:

* Krauncabyuha (formasi bangau)
* Cakrabyuha (formasi cakram/melingkar)
* Kurmabyuha (formasi kura-kura)
* Makarabyuha (formasi buaya)
* Trisulabyuha (formasi trisula)
* Sarpabyuha (formasi ular)
* Kamalabyuha atau Padmabyuha (formasi teratai)

Sulit mengindikasi dengan tepat makna dari nama-nama formasi tersebut. Nama formasi mungkin saja mengindikasi bahwa sebuah pasukan memilih suatu bentuk tertentu (seperti elang, bangau, dll.) sebagai formasi, atau mungkin saja nama suatu formasi berarti strategi mereka mirip dengan suatu hewan/hal tertentu.
[sunting] Aturan perang

Dua pemimpin tertinggi dari kedua belah pihak bertemu dan membuat "peraturan tentang perlakuan yang etis" (Dharmayuddha) sebagai aturan perang. Peraturan tersebut sebagai berikut:

* Pertempuran harus dimulai setelah matahari terbit dan harus segera dihentikan saat matahari terbenam.
* Pertempuran satu lawan satu; tidak boleh mengeroyok prajurit yang sedang sendirian.
* Dua kesatria boleh bertempur secara pribadi jika mereka memiliki senjata yang sama atau menaiki kendaraan yang sama (kuda, gajah, atau kereta).
* Tidak boleh membunuh prajurit yang menyerahkan diri.
* Seseorang yang menyerahkan diri harus menjadi tawanan perang atau budak.
* Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak bersenjata.
* Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang dalam keadaan tidak sadar.
* Tidak boleh membunuh atau melukai seseorang atau binatang yang tidak ikut berperang.
* Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit dari belakang.
* Tidak boleh menyerang wanita.
* Tidak boleh menyerang hewan yang tidak dianggap sebagai ancaman langsung.
* Peraturan khusus yang dibuat untuk setiap senjata mesti diikuti. Sebagai contoh, dilarang memukul bagian pinggang ke bawah pada saat bertarung menggunakan gada.
* Bagaimanapun juga, para kesatria tidak boleh berjanji untuk berperang dengan curang.

Meskipun aturan perang telah disepakati, banyak prajurit dan kesatria dari kedua belah pihak yang melanggarnya, dan tidak jarang mereka melakukannya.
[sunting] Jalannya pertempuran
Para raja dan kesatria meniup terompet kerang mereka sebagai isyarat bahwa pertempuran akan segera dimulai.

Pertempuran berlangsung selama 18 hari. Pertempuran berlangsung pada saat matahari muncul dan harus segera diakhiri pada saat matahari terbenam. Kedua belah pihak bertarung di dataran Kurukshetra dan setiap hari terjadi pertempuran yang berlangsung sengit dan mengesankan. Dalam setiap pertarungan yang terjadi dalam 18 hari tersebut, ksatria yang tidak terbunuh dan berhasil mempertahankan nyawanya adalah pemenang karena pertempuran tersebut adalah pertempuran menuju kematian. Siapa yang bertahan hidup dan berhasil memusnahkan lawan-lawannya, dialah pemenangnya.
[sunting] Beberapa saat sebelum perang

Pada hari pertempuran pertama, begitu juga pada hari-hari berikutnya, pasukan para Korawa berbaris menghadap barat sedangkan pasukan para Pandawa berbaris menghadap timur. Pasukan Korawa membentuk formasi seperti burung elang: pasukan penunggang gajah sebagai tubuhnya; pasukan para Raja dan ksatria di barisan depan sebagai kepalanya; dan pasukan penunggang kuda sebagai sayapnya. Dalam urusan perang, Bisma berkonsultasi dengan panglima Drona, Bahlika dan Krepa.

Pasukan Pandawa diatur oleh Yudistira dan Arjuna agar membentuk "formasi Bajra". Karena pasukan Pandawa lebih kecil daripada pasukan Korawa, maka strategi berperang dibuat agar memungkinkan pasukan yang kecil untuk menyerang pasukan yang besar. Sesuai strategi Pandawa, pasukan pemanah akan menghujani musuh dengan panah dari belakang pasukan garis depan. Pasukan garis depan menggunakan senjata langsung jarak pendek seperti: gada, pedang, kapak, tombak, dll. Pasukan Korawa terdiri dari sebelas divisi di bawah perintah Bisma. Sepuluh divisi pasukan Korawa membentuk barisan yang sangat hebat, sedangkan divisi kesebelas masih berada di bawah aba-aba langsung dari Bisma, dan sebagian divisi melindunginya dari serangan langsung karena Bisma sangat berguna dan merupakan harapan untuk menang.

Setelah sepakat dengan formasi dan strategi masing-masing, pasukan kedua belah pihak berbaris rapi. Duryodana optimis melihat pasukan Korawa memiliki para kesatria tangguh yang setara dengan Bima dan Arjuna. Namun ada tokoh-tokoh lain yang setara dengan mereka seperti Yuyudana (Satyaki), Wirata, dan Drupada yang ia anggap sebagai batu rintangan dalam mencapai kajayaan dalam pertempuran. Ia juga optimis karena ksatria-ksatria yang sangat ahli di bidang militer, yaitu Bisma, Karna, Kertawarma, Wikarna, Burisrawa, dan Krepa, ada di pihaknya. Selain itu Raja agung seperti Yudhamanyu dan Uttamauja yang sangat perkasa juga turut berpartisipasi dalam pertempuran sebagai penghancur bagi musuh-musuhnya. Bisma, dengan diikuti oleh Para Raja dan ksatria dari kedua belah pihak meniup "sangkala" (terompet kerang) mereka tanda pertempuran akan segera dimulai.
Patung Kresna yang sedang memberikan wejangan kepada Arjuna menjelang pertempuran. Patung tersebut terdapat di Tirumala, India.

Ketika terompet sudah ditiup dan kedua pasukan sudah berhadap-hadapan, bersiap-siap untuk bertempur, Arjuna menyuruh Kresna, guru spiritual sekaligus kusir keretanya, agar mengemudikan keretanya menuju ke tengah medan pertempuran supaya ia bisa melihat, siapa yang siap bertempur dan siapa yang harus ia hadapi. Tiba-tiba Arjuna dilanda perasaan takut akan kemusnahan wangsa Bharata, keturunan Kuru, nenek moyangnya. Arjuna juga dilanda kebimbangan akan melanjutkan pertarungan atau tidak. Ia melihat kakek tercintanya, bersama-sama dengan gurunya, paman, saudara sepupu, ipar, mertua, dan teman bermain semasa kecil, semuanya kini berada di Kurukshetra, harus bertarung dengannya dan saling bunuh. Arjuna merasa lemah dan tidak tega untuk melakukannya.

Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana yang merupakan ajaran agama, mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertanya kepada Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama. Kresna, yang memilih menjadi kusir kereta Arjuna, menjelaskan dengan panjang lebar ajaran-ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang kesatria, agar dapat membedakan antara yang baik dengan yang salah. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang sangat terkenal yang bernama Bhagawadgita. Dalam Bhagawadgita, Kresna menyuruh Arjuna untuk tidak ragu dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang ksatria yang berada di jalur yang benar. Ia juga mengingatkan bahwa kewajiban Arjuna adalah membunuh siapa saja yang ingin mengalahkan kebajikan dengan kejahatan. Kemudian Sri Kresna menunjukkan bentuk semestanya kepada Arjuna, agar Arjuna tahu siapa ia sesungguhnya sehingga segala keraguan dalam hatinya sirna. Dalam wujud semesta tersebut, ia meyakinkan Arjuna bahwa sebagian besar para ksatria perkasa di kedua belah pihak telah dihancurkan, dan yang bertahan hidup hanya beberapa orang saja, maka tanpa ragu Arjuna harus mau bertempur.
Sebuah patung di Singapura, yang menggambarkan adegan Kresna menampakkan wujud rohaninya kepada Arjuna.

Sebelum pertempuran dimulai, Yudistira melakukan sesuatu yang mengejutkan. Tiba-tiba ia meletakkan senjata, melepaskan baju zirah, turun dari kereta dan berjalan ke arah pasukan Korawa dengan mencakupkan tangan seperti berdoa. Para Pandawa dan para Korawa tidak percaya dengan apa yang dilakukannya, dan mereka berpikir bahwa Yudistira sudah menyerah bahkan sebelum panah sempat melesat. Ternyata Yudistira tidak menyerah. Dengan hati yang suci Yudistira menyembah Bisma dan memohon berkah akan keberhasilan. Bisma, kakek dari para Pandawa dan Korawa, memberkati Yudistira. Setelah itu, Yudistira kembali menaiki keretanya dan pertempuran siap untuk dimulai.

Hari pertama

Setelah isyarat penyerangan diumumkan, kedua belah pihak maju dengan senjata lengkap. Divisi pasukan Korawa dan divisi pasukan Pandawa saling bantai. Bisma maju menyerang tentara Pandawa dan membinasakan apapun yang menghalangi jalannya. Abimanyu putra Arjuna melihat hal tersebut dan menyuruh para pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri mencoba menyerang Bisma dan para pengawalnya, namun usaha para kesatria Pandawa tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan.

Putra Raja Wirata – Utara – maju menghadapi Salya Raja Madra. Utara yang menaiki gajah perang, mencoba melumpuhkan kereta perang Salya. Setelah keretanya lumpuh, Salya meluncurkan senjata lembingnya ke arah Utara. Senjata tersebut menembus baju zirah Utara. Kemudian, Salya menyerang gajah tunggangan Utara dengan panah-panahnya. Utara dan gajahnya pun gugur seketika. Setelah Utara gugur, Sweta mengamuk. Dengan nafsu membunuh, ia mengejar Salya. Para kesatria Korawa yang menyadari hal itu segera melindungi Salya, namun tidak ada yang mampu mengatasi kemarahan Sweta. Akhirnya Bisma turun tangan. Dengan senjata khusus, ia memanah Sweta sehingga kesatria tersebut gugur seketika.

Ketidakmampuan Pandawa melawan Bisma, serta kematian Utara dan Sweta di hari pertama, membuat Yudistira menjadi pesimis. Namun Sri Kresna berkata bahwa kemenangan sesungguhnya akan berada di pihak Pandawa.

Hari kedua

Pada hari kedua, Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari pertama. Arjuna mencoba untuk menyerang Bisma dan membunuhnya, namun para pasukan Korawa berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga sehingga meyulitkan Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak membunuh Bisma. Kedua belah pihak saling bantai, dan sebagian besar pasukan Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah menyapu seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma terlibat dalam duel sengit. Sementara itu Drona menyerang Drestadyumna bertubi-tubi dan mematahkan panahnya berkali-kali. Bima yang melihat keadaan tersebut menyongsong Drestadyumna dan menyelamatkan nyawanya. Duryodana mengirim pasukan bantuan dari kerajaan Kalinga untuk menyerang Bima, namun serangan dari Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua. Satyaki yang bersekutu dengan Pandawa memanah kusir kereta Bisma sampai meninggal. Tanpa kusir, kuda melarikan kereta Bisma menjauhi medan laga. Di akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat kekalahan.

Hari ketiga
Kesabaran Kresna habis sehingga ia ingin membunuh Bisma dengan tangannya sendiri, namun dicegah oleh Arjuna.

Pada hari ketiga, Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa membentuk formasi burung elang dengan dirinya sendiri sebagai panglima berada di garis depan sementara tentara Duryodana melindungi barisan belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan lagi. Sementara itu para Pandawa mengantisipasinya dengan membentuk formasi bulan sabit dengan Bima dan Arjuna sebagai pemimpin sayap kanan dan kiri. Pasukan Korawa menitikberatkan penyerangannya kepada Arjuna. Kemudian kereta Arjuna diserbu oleh berbagai panah dan tombak. Dengan kemahirannya yang hebat, Arjuna membentengi keretanya dengan arus panah yang tak terhitung jumlahnya.

Abimanyu dan Satyaki menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan tentara Gandara milik Sangkuni. Bima dan putranya, Gatotkaca, menyerang Duryodana yang berada di barisan belakang. Panah Bima melesat menuju Duryodana yang menukik di atas keretanya. Kusir keretanya segera membawanya menjauhi pertempuran. Tentara Duryodana melihat pemimpinnya menjauhi pertarungan. Bisma melihat hal tersebut lalu menyuruh agar pasukan bersiap siaga dan membentuk kembali formasi, kemudian Duryodana datang kembali dan memimpin tentaranya. Duryodana marah kepada Bisma karena masih segan untuk menyerang para Pandawa. Bisma kemudian sadar dan mengubah perasaannnya kepada para Pandawa.

Arjuna dan Kresna mencoba menyerang Bisma. Arjuna dan Bisma sekali lagi terlibat dalam pertarungan yang bengis, meskipun Arjuna masih merasa tega dan segan untuk melawan kakeknya. Kresna menjadi sangat marah dengan keadaan itu dan berkata, "Aku sudah tak bisa bersabar lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku sendiri," lalu ia mengambil sejata cakranya dan berlari ke arah Bisma. Arjuna berlari mengejarnya dan mencegah Kresna untuk melakukannya. Kemudian mereka berdua melanjutkan pertarungan dan membinasakan banyak pasukan Korawa.

Hari keempat

Hari keempat merupakan hari dimana Bima menunjukkan keberaniannya. Bisma memerintahkan pasukan Korawa untuk bergerak. Abimanyu dikepung oleh para ksatria Korawa lalu diserang. Arjuna melihat hal tersebut lalu menolong Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting tersebut lalu menyerang para kstria Korawa dengan gada. Kemudian Duryodana mengirimkan pasukan gajah untuk menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah menuju ke arahnya, ia turun dari kereta dan menyerang mereka satu persatu dengan gada baja miliknya. Mereka dilempar dan dibanting ke arah pasukan Korawa. Kemudian Bima menyerang para kesatria Korawa dan membunuh delapan adik Duryodana. Akhirnya ia dipanah dan tersungkur di keretanya. Gatotkaca melihat hal tersebut, lalu merasa sangat marah kepada pasukan Korawa. Bisma menasehati bahwa tidak ada yang mampu melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu menyuruh pasukan agar mundur. Pada hari itu, Duryodana merasa sedih telah kehilangan saudara-saudaranya.

Saat pertempuran di hari itu berakhir, Duryodana yang diliputi duka dan kekecewaan datang menemui Bisma untuk menanyakan penyebab Pandawa mampu bertahan dan mengalahkan kekuatan pasukan Korawa yang konon amat dahsyat. Bisma menjawab bahwa Pandawa bertindak di bawah panji kebenaran, sehingga lebih baik mengadakan perjanjian damai dengan mereka. Namun Duryodana yang keras kepala tidak mau menuruti nasihat tersebut.

Hari kelima
Ilustrasi perang di Kurukshetra dari kitab Mahabharata.

Pada hari kelima, pertempuran terus berlanjut. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga membalas serangan Bisma. Bima berada di garis depan bersama Srikandi dan Drestadyumna di sampingnya. Satyaki berhadapan dengan Drona dan kesulitan untuk membalas serangannya. Bima pergi meninggalkan Srikandi yang menyerang Bisma. Karena Srikandi berperan sebagai seorang wanita, Bisma menolak untuk bertarung dan pergi. Sementara itu, Satyaki membinasakan pasukan besar yang dikirim untuk menyerangnya. Pertempuran dilanjutkan dengan pertarungan antara Setyaki melawan Burisrawa dan kemudian Satyaki kesusahan sehingga berada dalam situasi genting. Melihat hal itu, Bima datang melindungi Satyaki dan menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain, Arjuna bertempur dan membunuh ribuan tentara yang dikirim Duryodana untuk menyerangnya.

Hari keenam

Yudistira menyuruh Drestadyumna agar membentuk formasi Makara, dengan Drupada dan Arjuna sebagai pemimpin garis depan. Untuk menandingi kekuatan Yudistira, Bisma menginstruksikan agar pasukan Korawa membentuk formasi burung bangau, dengan Balhika dan angkatan perangnya sebagai pemimpin garis depan.

Bima bertarung melawan Drona dengan sengit. Bima memanah kusir kereta Drona sehingga tewas seketika. Drona mengambil alih kedudukan kusirnya, lalu menghancurkan sebagian besar pasukan Pandawa. Serangan Drona dihadapi oleh Drestadyumna. Sementara itu, Bima melancarkan serangan ke garis pertahanan yang terdiri dari putra-putra Dretarastra, yaitu: Dursasana, Durwisaha, Dursaha, Durmada, Jaya, Jayasena, Wikarna, Citrasena, Sudarsana, Carucitra, Duskarna, Karna (Karna adik Duryodana, bukan Karna sahabat Duryodana). Mereka semua mengepung Bima dari segala penjuru. Bima meloncat turun dari keretanya sambil membawa gada. Di tengah pasukan musuh, Bima mengamuk sehingga pasukan Korawa kacau-balau. Melihat Bima dalam bahaya, Drestadyumna segera meninggalkan Drona dengan maksud membantu Bima. Dengan bantuan Drestadyumna, Bima menghancurkan pasukan Korawa dengan lebih mudah.

Setelah menyaksikan Bima dalam bahaya, Yudistira mengirim Abimanyu untuk membantu pamannya tersebut. Abimanyu melawan para putra Dretarastra, sementara Duryodana dihadapi oleh lima putra Dropadi, yaitu Pratiwindya, Sutasoma, Srutakarma, Satanika, dan Srutakirti. Menjelang sore hari, Bisma masih mengamuk menghancurkan pasukan Pandawa. Akhirnya, matahari terbenam dan seluruh pasukan ditarik mundur pada malam hari itu.

Hari ketujuh

Pada hari ketujuh, pasukan Korawa di bawah instruksi Bisma membentuk formasi Mandala. Untuk mengantisipasinya, Yudistira menginstruksikan agar pasukan Pandawa membentuk formasi Bajra. Arjuna berhasil merusak formasi Mandala, sehingga Bisma maju untuk menghadapinya. Sementara itu, Drona bertarung menghadapi Wirata Raja Matsya. Dengan serangan panahnya, Drona membuat kereta perang Wirata lumpuh. Kemudian Wirata meloncat dari keretanya untuk berpindah ke kereta Sangka, putranya. Meskipun Wirata dan Sangka sudah menggabungkan kekuatan, namun Drona masih tak terkalahkan. Sebaliknya, Drona berhasil menembakkan empat batang panah penembus baju zirah ke arah Sangka. Panah tersebut bersarang di dada Sangka, kemudian merenggut nyawanya.

Sementara itu, Satyaki bertarung menghadapi raksasa Alambusa, sedangkan Drestadyumna menghadapi Duryodana. Satyaki berhasil mengalahkan raksasa Alambusa, sementara Drestadyumna berhasil melukai tubuh Duryodana dengan tujuh anak panah. Kemudian panah-panah menembus tubuh kuda dan kusir kereta Duryodana sehingga kendaraan tersebut lumpuh. Duryodana meloncat dari keretanya lalu diselamatkan oleh pamannya, Sangkuni dari Gandhara. Di tempat lain, Srikandi maju menghadapi Bisma. Bisma tidak menghiraukan Srikandi karena kesatria tersebut bersifat kewanitaan, sehingga ia lebih memilih menghancurkan pasukan Srinjaya, sekutu Pandawa.

Pada hari tersebut, para kesatria Korawa lebih banyak menderita kekalahan dibandingkan pihak Pandawa. Hal tersebut membuat Dretarastra, ayah para Korawa merasa sedih. Sanjaya, penasihat Dretarastra mengatakan bahwa ia tidak perlu bersedih sebab kehancuran putra-putranya disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri. Sanjaya menambahkan, bahwa kematian para kesatria yang gugur di medan perang akan membuka jalan surga bagi mereka.

Hari kedelapan

Pada hari kedelapan, Bima membunuh delapan putera Dretarastra, yaitu: Sunaba, Adityaketu, Wahwasin, Kundadara, Mahodara, Aparajita, Panditaka dan Wisalaksa. Sunaba, Adityaketu, Aparajita dan Wisalaksa gugur dengan kepala terpenggal, sedangkan yang lainnya gugur karena senjata panah yang diluncurkan Bima. Setelah menyaksikan kematian mereka, Duryodana memerintahkan para saudaranya yang masih hidup untuk membunuh Bima. Namun tak satu pun putra Dretarastra yang berani maju menghadapi Bima setelah mereka menyaksikan kematian delapan saudaranya.

Sementara itu, Sangkuni putra Subala, dengan didampingi oleh putra Hredika dari kerajaan Satwata, menyerbu pasukan Pandawa. Pasukan penyerbu tersebut merupakan kavaleri gabungan dari berbagai kerajaan di India, seperti Kamboja, Sindhu, Mahi, Aratta, dll. Untuk menandinginya, Irawan putra Arjuna maju ke medan laga sambil membawa pasukan berkuda dalam jumlah besar. Dengan pedang dan panah, Irawan berhasil membunuh para saudara Sangkuni, kecuali Wresaba.

Setelah pasukan putra Subala kacau balau, Duryodana mengirim raksasa Alambusa untuk membunuh Irawan. Kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara Irawan melawan Alambusa. Keduanya sama-sama menggunakan kekuatan sihir, sama-sama sakti dan saling menghancurkan. Saat Irawan memunculkan seekor naga raksasa, Alambusa menanggapinya dengan menjelma menjadi seekor burung garuda raksasa. Burung siluman tersebut berhasil membunuh naga siluman yang dipanggil Irawan. Hal itu membuat Irawan terpaku menyaksikan kekalahannya. Pada saat itu juga, Alambusa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memenggal leher Irawan.

Hari kesembilan

Pada hari kesembilan, Abimanyu putra Arjuna menghancurkan laskar Korawa sambil mengamuk. Para kesatria terkemuka di pihak Korawa tidak mampu menghadapinya, karena seolah-olah Abimanyu merupakan Arjuna yang kedua. Melihat prajuritnya tercerai-berai, Duryodana memutuskan untuk mengirim raksasa Alambusa, putra Resyasringga. Raksasa tersebut menuruti perintah Duryodana. Ribuan prajurit Pandawa mati di tangannya, sehingga lima putra Dropadi bertindak. Mereka mencoba menahan serangan raksasa tersebut, namun tidak berhasil. Sebaliknya, justru nyawa mereka yang terancam. Setelah melihat para saudara tirinya sedang terancam, Abimanyu segera datang membantu mereka sekaligus menghadapi raksasa Alambusa. Tak lama kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara Abimanyu melawan raksasa Alambusa. Dengan kemahirannya menggunakan senjata panah, Abimanyu berhasil mengalahkan Alambusa sehingga raksasa tersebut turun dari keretanya sambil melarikan diri karena kesakitan.

Setelah Alambusa mengalami kekalahan, Bisma segera menghadapi Abimanyu. Dengan dikawal oleh para kesatria tangguh dari pihak Korawa, Bisma maju menerjang Abimanyu. Pada saat itu juga, Arjuna datang membantu Abimanyu. Kemudian Krepa menyerang Arjuna sehingga terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. melihat keadaan tersebut, Satyaki datang membantu Arjuna. Aswatama putra Drona, datang membantu Krepa dengan meluncurkan panah-panahnya. Namun ternyata Satyaki mampu bertahan, bahkan membalas serangan Aswatama secara bertubi-tubi. Setelah Aswatama lelah menghadapinya, Drona muncul untuk membantu putranya tersebut. Sedangkan dari pihak Pandawa, Arjuna maju membantu Satyaki. Tak lama kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara Arjuna melawan Drona. Meskipun demikian, baik Arjuna maupun Drona mampu bertahan hidup sebab mereka sama-sama sakti.

Kemudian, Kresna mengingatkan Arjuna untuk segera membunuh Bisma. Maka dari itu, Arjuna segera memerintahkan Kresna untuk menjalankan keretanya menuju Bisma. Saat menghadapi Bisma, Arjuna masih segan untuk mengerahkan seluruh kemampuannya, sehingga pertarungan terlihat tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Melihat keadaan itu, Kresna menjadi marah. Ia turun dari keretanya sambil membawa cemeti dengan tujuan membunuh Bisma. Bisma tidak mengelak saat melihat tindakan Kresna. Sebaliknya, ia ikhlas apabila nyawanya melayang di tangan Kresna. Menanggapi hal tersebut, Arjuna segera meloncat dari keretanya, lalu memeluk kaki Kresna untuk menghentikan gerakan Kresna. Sekali lagi, Arjuna memohon agar Kresna meredam amarahnya. Kresna hanya diam setelah mendengar permohonan Arjuna. Kemudian mereka kembali menaiki kereta untuk melanjutkan peperangan.

Hari kesepuluh

Lukisan Bisma yang tidur di ranjang panah menjelang kematiannya. Sebuah koleksi dari Institusi Smithsonian.
Lukisan Bisma saat sekarat, sedang berbaring dengan tubuh ditancapi ratusan panah. Lukisan diambil dari kitab Razmnama, atau Mahabharata versi Persia.

Pada hari kesepuluh, Pandawa yang merasa tidak mungkin untuk mengalahkan Bisma menyusun suatu strategi. Mereka berencana untuk menempatkan Srikandi di depan kereta Arjuna, sementara Arjuna sendiri akan menyerang Bisma dari belakang Srikandi. Srikandi dipilih sebagai tameng Arjuna sebab ia merupakan seorang wanita yang berganti kelamin menjadi pria, dan hal itu membuat Bisma enggan menyerang Srikandi. Disamping itu, Srikandi merupakan reinkarnasi Amba, wanita yang mati karena perasaannya disakiti oleh Bisma, dan bersumpah akan terlahir kembali sebagai pembunuh Bisma yang menjadi penyebab atas penderitaannya.

Srikandi menyerang Bisma, namun Bisma tidak menghiraukan serangannya. Sebaliknya, ia malah tertawa, sebab ia tahu bahwa kehadiran Srikandi merupakan pertanda buruk yang mampu mengantarnya menuju takdir kekalahan. Bisma juga tahu bahwa ia ditakdirkan gugur karena Srikandi, maka dari itu ia merasa sia-sia untuk melawan takdirnya. Bisma yang tidak tega untuk menyerang Srikandi, tidak bisa menyerang Arjuna karena tubuh Srikandi menghalanginya. Hal itu dimanfaatkan Arjuna untuk mehujani Bisma dengan ribuan panah yang mampu menembus baju zirahnya. Ratusan panah yang ditembakkan Arjuna menembus tubuh Bisma dan menancap di dagingnya.

Bisma terjatuh dari keretanya, namun badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh panah-panah yang menancap di tubuhnya. Setelah Bisma jatuh, pasukan Pandawa dan Korawa menghentikan pertarungannya sejenak lalu mengelilingi Bisma. Bisma menyuruh Arjuna untuk meletakkan tiga anak panah di bawah kepalanya sebagai bantal. Kemudian, Bisma meminta dibawakan air. Tanpa ragu, Arjuna menembakkan panahnya ke tanah, lalu menyemburlah air dari tanah ke mulut Bisma. Meskipun tubuhnya ditancapi ratusan panah, Bisma masih mampu bertahan hidup sebab ia diberi anugrah untuk bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Dalam keadaan seperti itu, ia memberi wejangan kepada para cucunya yang melakukan peperangan. Meskipun sudah tak berdaya, Bisma mampu hidup selama beberapa hari sambil menyaksikan kehancuran pasukan Korawa.

Hari kesebelas

Setelah kekalahan Bisma pada hari kesepuluh, Karna memasuki medan laga dan melegakan hati Duryodana. Ia mengangkat Drona sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Karna dan Duryodana berencana untuk menangkap Yudistira hidup-hidup. Membunuh Yudistira di medan laga hanya membuat para Pandawa semakin marah, sedangkan dengan adanya Yudistira para Pandawa mendapatkan strategi perang. Drona membantu Karna dan Duryodana untuk menaklukkan Yudistira. Ia memanah busur Yudistira hingga patah. Para Pandawa cemas karena Yudistira akan menjadi tawanan perang. Melihat hal itu, Arjuna turun tangan dan menghujani Drona dengan panah dan menggagalkan rencana Duryodana.

Hari kedua belas

Setelah menerima kegagalan, Drona yakin bahwa rencana untuk menaklukkan Yudistira sulit diwujudkan selama Arjuna masih ada. Raja Trigarta — Susarma — bersama dengan 3 saudaranya dan 35 putera mereka berada di pihak Korawa dan mencoba untuk membunuh Arjuna atau sebaliknya, gugur di tangan Arjuna. Mereka turun ke medan laga pada hari kedua belas dan langsung menyerbu Arjuna. Namun mereka tidak berhasil sehingga gugur satu persatu. Semakin hari kekuatan para Pandawa semakin bertambah dan memberikan pukulan yang besar kepada pasukan Korawa.

Hari ketiga belas
Ukiran di Kuil Hoysaleswara (Halebid, India), yang menggambarkan Abimanyu saat terkurung dalam formasi Cakrabyuha.

Duryodana memanggil Bhagadatta, Raja Pragjyotisha (di zaman sekarang disebut Assam, sebuah wilayah di India). Bhagadatta merupakan putera dari Narakasura, raja yang dibunuh oleh Kresna beberapa tahun sebelumnya. Bhagadatta memiliki ribuan gajah yang berukuran sangat besar sebagai kekuatan pasukannya, dan ia dianggap sebagai kesatria terkuat di antara seluruh kesatria penunggang gajah pada zamannya. Bhagadatta menyerang Arjuna dengan mengendarai gajah raksasanya yang bernama Supratika. Pertempuran antara Arjuna melawan Bhagadatta terjadi dengan sangat sengit.

Saat Arjuna sibuk dalam pertarungan yang sengit, di tempat lain, empat Pandawa sulit mematahkan formasi Cakrabyuha yang disusun Drona. Yudistira melihat hal tersebut dan menyuruh Abimanyu, putera Arjuna, untuk merusak formasi Cakrabyuha, sebab Yudistira tahu bahwa hanya Arjuna dan Abimanyu yang bisa mematahkan formasi tersebut. Saat Abimanyu memasuki formasi tersebut, empat Pandawa melindunginya di belakang. Namun, keempat Pandawa dihadang Jayadrata sehingga Abimanyu memasuki formasuki Cakrabyuha tanpa perlindungan. Akhirnya, Abimanyu dikepung oleh para kesatria Korawa, lalu terbunuh oleh serangan serentak.

Menjelang akhir hari kedua belas, setelah melalui pertarungan yang sengit, akhirnya Bhagadatta dan Susarma gugur di tangan Arjuna. Sementara itu, Abimanyu gugur karena terjebak dalam formasi Cakrabyuha. Setelah mengetahui kematian putranya, Arjuna marah pada Jayadrata yang menghalangi usaha para Pandawa untuk melindungi Abimanyu. Ia bersumpah akan membunuh Jayadrata pada hari keempat belas. Ia juga bersumpah bahwa jika ia tidak berhasil melakukannya sampai matahari terbenam, ia akan membakar dirinya sendiri.

Hari keempat belas

Saat berusaha mencari Jayadrata di medan pertempuran, Arjuna menghancurkan satu aksauhini (109.350 tentara) prajurit Korawa. Pasukan Korawa melindungi Jayadrata dengan baik, untuk mencegah Arjuna menyerangnya. Akhirnya, menjelang sore, Arjuna mendapati bahwa Jayadrata dikawal oleh Karna dan lima kesatria perkasa lainnya. Setelah melihat keadaan temannya, Kresna mengangkat Sudarsana Cakra-nya untuk menutupi matahari, menipu seolah-olah matahari terbenam. Seluruh prajurit menghantikan pertempuran karena merasa bahwa siang hari telah berakhir. Dengan demikian, Jayadrata tanpa perlindungan. Saat matahari menampakkan sinar terakhirnya di hari tersebut, Arjuna menembakkan panah dahsyatnya yang kemudian memenggal kepala Jayadrata.

Pertempuran berlanjut setelah matahari terbenam. Saat bulan tampak bersinar, Gatotkaca, putra Bima membunuh banyak kesatria, dan menyerang lewat udara. Karna menghadapinya lalu mereka bertarung dengan sengit, sampai akhirnya Karna mengeluarkan Indrastra, sebuah senjata surgawi yang diberikan kepadanya oleh Dewa Indra. Gatotkaca yang menerima serangan tersebut lalu memperbesar ukuran tubuhnya. Ia gugur seketika kemudian jatuh menimpa ribuan prajurit Korawa.
[sunting] Hari kelima belas
Sebuah lukisan dari Himachal Pradesh, India. Di sini digambarkan Arjuna dan pasukannya (kiri) menghadapi Karna dan pasukannya (kanan).

Setelah Raja Drupada dan Raja Wirata dibunuh oleh Drona, Bima dan Drestadyumna bertarung dengannya di hari kelima belas. Karena Drona amat kuat dan memiliki brahamastra (senjata ilahi) yang tak terkalahkan, Kresna memberi isyarat pada Yudistira bahwa Drona akan menyerah apabila Aswatama – putranya – gugur dalam perang tersebut. Kemudian Bima membunuh seekor gajah bernama Aswatama, dan berteriak dengan keras bahwa Aswatama gugur.

Drona mendekati Yudistira untuk mencari kepastian tentang kematian putranya. Yudistira berkata "Ashwathama Hatha Kunjara", namun dua kata terakhir "Hatha Kunjara" yang menerangkan bahwa seekor gajah telah mati, tidak terdengar karena kegaduhan bunyi genderang dan terompet atas perintah Kresna (versi yang berbeda menyebutkan bahwa Yudistira melafalkan kata-kata terakhir tersebut dengan sangat pelan sehingga Drona tidak mendengar kata "gajah"). Sebelum peristiwa tersebut, kereta perang Yudistira, yang disebut Dharmaraja (Raja Kebenaran), melayang beberapa inci dari tanah. Setelah peristiwa tersebut, keretanya menyentuh tanah. Setelah menduga bahwa putranya telah tiada, Drona merasa berdukacita, dan menjatuhkan senjatanya. Kemudian ia dibunuh oleh Drestadyumna untuk membalaskan dendam ayahnya sekaligus melaksanakan sumpahnya.

Setelah perang di hari itu berakhir, Kunti (ibu para Pandawa) secara rahasia pergi menemui Karna, putra yang dibuangnya, dan memintanya untuk mengampuni nyawa para Pandawa, karena mereka adalah adiknya. Karna berjanji pada Kunti bahwa ia akan mengampuni nyawa para Pandawa, kecuali Arjuna.
Ilustrasi pertarungan sengit antara Arjuna melawan Karna.

Hari keenam belas

Pada hari keenam belas, Karna menjadi panglima tertinggi pasukan Korawa. Ia membunuh banyak prajurit pada hari itu. Sebuah pertempuran sengit terjadi antara Arjuna melawan Karna. Bahkan Kresna memuji Karna atas keberaniannya. Akhirnya Karna berhasil memutuskan tali busur Arjuna. Tepat saat Karna akan membunuh Arjuna, matahari terbenam. Karena memperhatikan peraturan peperangan, Karna mengampuni nyawa Arjuna.

Ada versi berbeda mengenai akhir hari kedelapan belas. Diceritakan bahwa Karna bertempur dengan gagah berani meski dikelilingi para jendral pasukan Pandawa. Mereka semua tidak mampu melawannya. Karna memberi serangan mematikan pada pasukan Pandawa sehingga mereka melarikan diri. Kemudian Arjuna berhasil mematahkan senjata Karna dengan senjatanya sendiri, dan juga memberikan serangan mematikan pada pasukan Korawa. Tak lama kemudian matahari terbenam, dan karena kegelapan dan debu membuat pertempuran berlangsung dengan sulit, maka pasukan Korawa ditarik mundur, dengan tujuan menghindari pertempuran di malam hari. [4]

Hari ketujuh belas

Karna mendorong roda keretanya yang terperosok ke dalam lumpur pada saat perang Baratayuda. Peristiwa ini terjadi sesaat menjelang kematiannya di tangan Arjuna.

Pada hari ketujuh belas, Karna mengalahkan Bima dan Yudistira dalam pertempuran, namun nyawa mereka diampuni. Kemudian, Karna melanjutkan pertarungannya melawan Arjuna. Saat bertarung, roda kereta Karna terperosok ke dalam lumpur sehingga Karna meminta izin untuk menghentikan pertarungan sejenak. Melihat kesempatan tersebut, Kresna mengingatkan Arjuna tentang sikap Karna yang tidak berbelas kasihan pada Abimanyu saat Abimanyu terbunuh setelah kehilangan senjata dan keretanya. Terungkitnya kenangan pahit tersebut membuat hati Arjuna perih kembali. Kemudian, Arjuna menembakkan panahnya untuk memenggal Karna, pada saat Karna berusaha mengangkat roda keretanya yang terprosok ke dalam lumpur. Pada hari yang sama, Bima menghancurkan kereta Dursasana dengan gadanya. Bima menangkap Dursasana lalu membunuhnya, sehingga terpenuhilah sumpah yang dibuatnya saat Dropadi dipermalukan.

Hari kedelapan belas

Pada hari kedelapan belas, Salya Raja Madra diangkat sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa, menggantikan posisi Karna. Pada hari itu juga, Yudistira membunuh Raja Salya, Sadewa membunuh Sangkuni, dan Bima membunuh para adik Duryodana yang masih bertahan. Setelah sadar bahwa ia telah dikalahkan, Duryodana lari dari medan pertempuran lalu beristirahat di sebuah danau. Ahirnya para Pandawa berhasil menangkapnya. Di bawah pengawasan Baladewa, pertandingan gada berlangsung antara Bima melawan Duryodana, dimana akhirnya Duryodana mengalami kekalahan.

Aswatama, Krepa, dan Kertawarma bertemu Duryodana pada saat kesatria tersebut sedang sekarat. Mereka berjanji akan membalaskan dendamnya. Kemudian pada malam hari, mereka menyerang perkemahan para Pandawa, lalu membunuh lima putra Pandawa (Pancawala), Drestadyumna dan Srikandi.

Akhir peperangan

Hanya sepuluh kesatria yang bertahan hidup dari pertempuran, mereka adalah: Lima Pandawa, Yuyutsu, Satyaki, Aswatama, Krepa dan Kertawarma. Aswatama ditangkap oleh para Pandawa setelah ia melakukan pembunuhan di malam hari kedelapan belas, saat sekutu Pandawa sedang tidur. Krepa kembali ke Hastinapura, sedangkan Kertawarma ke kediaman Wangsa Yadu. Akhirnya, Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura. Setelah memerintah selama beberapa lama, Yudistira menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna, Parikesit. Kemudian, ia bersama Pandawa dan Dropadi mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka. Dropadi dan empat Pandawa, kecuali Yudistira, meninggal dalam perjalanan. Akhirnya Yudistira berhasil mencapai puncak Himalaya, dan dengan ketulusan hatinya, oleh anugerah Dewa Dharma ia diizinkan masuk surga sebagai seorang manusia.
Baca Selengkapnya.. … Perang Mahabharata

Terima Kasih

KAELOKANE BASA JAWA

Posted by: HAFIZH SMA 1 SRAGEN / Category:
BAB I WIDYA SWARA

Widyaswara inggih punika ngelmu ingkang ngrembag lan nyinau bab swanten (fonologi). Widyaswara dumados saking tembung widya = ngelmu, swara = uni.
Widyaswara ateges ngelmu ingkang ngrembag lan nyinau bab swanten/uni. Swanten ingkang dipunrembag ing mriki, inggih punika swanten ingkang wonten tegesipun sanes ingkang boten wonten tegesipun.
Dados, widyaswara punika ngrembag swanten-swanten ingkang saged milah wujud lan teges (distingtif).

1. Swanten
Swanten punika mungelipun angin ingkang medal saking paru-paru lan kawedhar lumantar tutuk. Medalipun swanten wau wonten ingkang mawi pancadan gorokan, cethak, ilat, untu utawi lambe, lan wonten ingkang boten mawi pancadan punapa-punapa.
Adhedhasar medalipun swanten, fonem basa Jawa saged dipunpilah dados kalih, inggih punika, swanten gesang (vokal) lan swanten pejah (konsonan).

a. Vokal = swanten ingkang gadhah ungel utawi swanten ingkang mungel jalaran medalipun angin saking paru-paru ingkang kawedhar lumantar tutuk boten wonten ingkang ngalang-alangi.
Inggih punika : a swara miring (aku), a swara jejeg (sapa), o (obah), i (ilang), u swara jejeg (urip), u swara miring (biyung), e swara jejeg (ewuh), e pepet (elar) lan e miring (estu).

b. Umlaut = Owahipun vokal ing wandanipun tembung, jalaran kawuwuhan panambang tinamtu (modifikasi vokal). Utawi owahipun swantena miring dados jejeg jalaran kawuwuhan panambang. Ing basa Jawa umlaut dipilah dados kalih :

1) Owahipun swanten kendho dados kenceng. (arit + e = arite, jagung + e = jagunge, siwur + e = siwure).
2) Owahipun swanten wingking dados ngajeng. (arta + e = artane, dina + e = dinane, liya + e = liyane).

c. Vokal rangkep = diftong = vokal cacah kalih ingkang benten wujudipun lan dumunung ing satunggalinipun wanda tembung. Manawi wonten vokal rangkep nanging boten dumunung ing wanda, swanten rangkep punika boten saged dipunwastani diftong. Basa Jawa (baku/standar) boten gadhah diftong kados basa Indonesia. Swanten (ae) ing tembung wae, kae lan jae sarta swanten (ai) ing tembung pait, jait lan paing boten klebet diftong, awit swanten (ae) ing tembung punika namung awujud vokal rangkep ingkang dumunung ing satunggalipun tembung sanes ing wanda.
Mila, tembung-tembung punika saged dipunpisah dados wa-e, ka-e, ja-e, pa-it, ja-it lan pa-ing.
Ing Jawa sisih wetan (Jawa Timur) wonten swanten rangkep ingkang awujud diftong, ingkang asring kepireng ing satunggaling tembung, ingkang mengku pikajeng nyangetaken, (abuh dados uabuh, gedhe dadi guedhe). Ing Surakarta lan Yogyakarta, kangge nyangetaken tembung racakipun ngangge variasi vokal utawi ngginakaken tembung banget. (abang = abing, lara = laru, panas = panas banget).

2. Konsonan.
Konsonan punika swanten ingkang tanpa ungel utawi swanten ingkang dereng mungel manawi dereng dipunsambung kaliyan vokal. Kaanggep swanten ingkang tanpa ungel jalaran angin ingkang medal saking paru-paru lan kawedhar lumantar tutuk dipunalang-alangi lambe, untu, ilat, cethak lan gorokan.
a. Swanten lambe (konsonan bilabial) = p, b, m, w.
b. Swanten untu (konsonan dental).
1) Apikodental = d, t
2) Apikoalveolar = n, l, r
3) Apikopalatal = dh, th
4) Laminoalveolar = s
c. Swanten cethak (konsonan palatal) = c, j, ny, y
d. Swanten gorokan (konsonan velar) = k, g, ng
e. Swanten Laringal (hamsah = h , tuladha hapsara) utawi Glotal (swanten ampang = k ampang).

Konsonan basa Jawa kagolong dados sekawan :
• swanten ampang,
• swanten anteb,
• swanten irung lan
• swanten manda-manda.





Gatosaken Tabel ing ngndhap punika :


Jinis Swanten





Lambe Untu Cethak cethak
Gorokan
Pucuk Ilat
Minggah Boten minnggah
Swanten nutup Ampang p t t c k
Anteb b d d j g
nasal m n n n
Ngeses s h
Geter l, r
Manda-manda w y
Glotal ?

Perlu dipungatosaken :

Swara th lan dh ing basa Jawa sanes alofon ananging klebet fonem ingkang benten, ingkang saged ngowahi suraosipun tembung.

Tuladha :
Adhi - adi
Wedhi - wedi

Konsonan khas (aspirat).
Konsonan aspirat awujud swanten (h) ingkang tansah tumempel ing swanten anteb b, d, d, j lan g. Manawi dipungatosaken kanthi permati, konsonan aspirat punika sanes fonem nanging alofon.

3. Prenasalisasi.
Swanten irung ingkang tansah ngrumiyini swanten-swanten anteb (b, d, dh, j lan g).

Tuladha : nJepara, mBali, ngGresik, mBandung,
mboten).

4. Gugus konsonan (klaster).
Konsonan rangkep ingkang benten wujudipun, ingkang dumunung ing satunggalipun wanda lan boten dumunung ing satunggalipun tembung.
Swanten anteb lan swanten ampang utawa ngeses, racakipun saged sumambung kaliyan swanten l lan r.

Tuladha :
Pl, tl, cl, kl, bl, dl, jl, gl, sl, pr, tr, tr, cr, kr, br, dr, dr, jr, gr, sr, cw, kw, jw, sw, wr, ky, by

5. Urutan Fonem Ing Wanda/Kaidah Fonotaktik.
(Urutan fonem wandanipun tembung lingga)
a. V - i-ki, a-ku
b. VK - un-dhuh, en-theng
c. KV - di-na, be-bek
d. KVK - gim-bal, tum-bal
e. KKV - tli-ti, ble-ro
f. KKVK - blim-bing, pren-tah

Swanten irung ingkang ngrumiyini tembung (ndlosor, ndlesep) boten kepetang.

6. Obah-owahe swanten
Owahipun swanten nanging boten ngowahi suraosipun tembung. Obah-owahipun swanten amargi katambah utawi dipunsuda swantenipun punapadene swanten ingkang ngalih papan. Gandheng dereng wonten tembung ingkang tegesipun sami kados tembung manca punika, mila tembung-tembung punika kepeksa dipunampil.

a. Panambahing Swara.
1) Protesis = tambahipun swanten ing wiwitanipun tembung. (nanging – ananging, jare – ujare, ana – nana, ing – ning adi – hadi).
2) Epentesis = tambahipun swanten ing tengahipun tembung. (kambil – krambil, akasa – angkasa, ngipi – ngimpi, upama – umpama).
3) Paragog = tambahipun swanten ing pungkasanipun tembung. (ora – orak, ibu – ibuk).

b. Panyudanipun Swanten (abreviasi).
Aferesis = sudanipun swanten ing wiwitanipun tembung. (kakang – kang, uwong – wong, bapak – pak, bisa - isa, simbah – mbah).

Tembung madya saged klebet aferesis, awit tembung madya racakipun saking tembung wetah ingkang namung dipunpendhet sakperangan.
(panjenengan – njenengan, dhateng – teng, mangga – engga).
1) Sinkop = sudanipun swanten ing tengahipun tembung. (sethithik – sithik, temenan – tenan, njaluk – njuk, dhuwit – dhit, weneh – weh).
2) Apokop = sudanipun swanten ing pungkasanipun tembung. (temenan – temen, kuluban – kulub, bakyu – bak, dhimas – dhi).

c. Gesehipun Swanten.
Gesehipun swanten wonten ingkang jalaranipun liru papan lan wonten ingkang jalaranipun swanten ingkang sami.
1) Metatesis = owahipun swanten jalaran lintu dunungipun swanten. (wira-wiri = riwa – riwi, sruput – srutup, bejad – jebad).
2) Desimilasi = owahipun swanten jalaran wonten swanten ingkang sami. Swanten ingkang sami ing tembung, lajeng dipundadosaken swanten sanes. (lara-lara = lara-lapa, rara-ireng = lara-ireng).

d. Variasi bebas.
Wujud lira-lirunipun swanten tanpa ngowahi suraosipun tembung. Lira-lirunipun swanten punika asring kedadosan antawisipun swanten ingkang nunggil asal.
Upaminipun antawisipun swanten b lan w, d lan t, ka lan g. (bulan – wulan, bengi – wengi, bae – wae, dakjupuk – takjupuk, kegedhen – gegedhen).
Fonem vokal ugi saged lira-liru tanpa ngowahi suraosipun tembung inggih punika swanten a lan swanten e. (takon – tekon, lanang – lenang, sadaya – sedaya).


e. Asimilasi.
Owah-owahanipun swanten amargi njumbuhaken kaliyan swanten sanesipun ingkang wonten ing tembung.

Tuladha :
 tembung upama – umpama (wontenipun swanten m ing tembung, punika kedaya saking swanten p ingkang mapan ing sisihipun fonem.
 Tembung jumlah – jumblah ((timbule swara b ing tembung punika kedaya saking swanten m ingkang mapan ing sisihipun fonem.

7. Ejaan Basa Jawa
a. Ejaan Basa Jawa mawi Aksara Latin (EYD).
Basa Jawa asli boten gadhah swanten f, q, v, x lan z. Nanging Basa Jawa Enggal gadhah.

1) Panyeratipun Vokal Basa Jawa.
(a) Panyeratipun swanten a jejeg kedah dipunserat ngangge aksara a sanes o (ungelipun nglegena). Dene swanten ingkang dipunlambangaken mawi aksara a punika benten kaliyan swanten o. Kangge niteni : Manawi swanten a mapan ing tembung lingga lan tembung punika kawuwuhan panambang e swanten a wau lajeng owah dados a miring, panyeratipun swanten kedah dipunserat mawi aksara a (arta – artane, bala – balane, rupa – rupane).
Nanging manawi wonten swanten ingkang mapan ing tembung lingga lan tembung wau dipunwuwuhi panambang e tembung punika ajeg utawi boten owah, tembung punika kedah dipunserat mawi aksara o. (growong – growonge, sorot – sorote, kopi – kopine, kodhok – kodhoke).

(b) Panyeratipun swara i.
- i jejeg (swara memper e ) = manawi tembung dipunwuwuhi panambang – e swanten ing tembung wau owah dados i. (cacing – canginge, maling – malinge, arit – arite).
- i miring = senajan dipunwuwuhi panambang e swanten wau tetep/boten owah. (siji – sijine, biji – bijine).

(c) Panyeratipun swanten U.
 U jejeg = senajan dipunwuwuhi panambang –e boten owah.

Tuladha : tebu, aku, putu.

 U miring (swanten memper O) = swantenipun memper o mapan ing tembung lingga lan dipunwuwuhi panambang -e swanten wau malih dados u , panyeratipun ngangge aksara u.

Tuladha : siwur – siwure, jagung –
jagunge, parut – parute,
wedhus – wedhuse.

2) Panyeratipun Konsonan.
Ing basa Jawa antawisipun pocapan lan seratan kalamangsanipun benten utawi boten sami.
(a) Panyeratipun aspirat.
Swanten anteb basa Jawa asring kedunungan swanten aspirat (h) , nanging boten perlu kaserat, awit swanten punika boten klebet fonem nanging alofon.

Tuladha : bhaphak – bapak, dhurung – durung.

(b) Panyeratipun prenasalisasi.
Prenasalisasi punika swanten irung ingkang tansah ngrumiyini satunggalipun tembung nalika dipunucapaken. Sedaya tembung ingkang wiwitanipun mawi swanten anteb badhe dipunrumiyini swanten irung. Limrahipun tembung aran (kata benda) utawi nedahaken papan.

Tuladha :
mBali – Bali,
mBandhung – Bandung,
nJepara – Jepara,
ngGresik – Gresik,
ndalan – dalan.

Sanajan ing pocapan swanten irung tansah ngrumiyini swanten anteb, swanten irung boten perlu dipunserat.

(c) Panyeratipun Glotal lan Retofleks.
Swanten (k) ing pungkasanipun tembung kabeh badhe dipunucapaken dados (?) utawi k manda-manda, kedah dipunserat k. semanten ugi swanten (t) lan (d) retofleks, swanten punika kedah dipunserat nangge th lan dh.

Tuladha : simbo? – simbok, kepla? – keplak, tole – thole, dawuh – dhawuh.

(d) Panulise Mandaswara.
Mandaswara punika swanten manda-manda ingkang mapan ing antawisipun vokal kalih (nanging sanes diftong) ingkang benten ungelipun. Ingkang klebet mandaswara (y, w). Manawi mapan ing tembung lingga perlu dipunserat, nanging manawi mapan ing tembung andhahan boten perlu dipunserat.

- Tuladha ing tembung lingga : priya – priya, duwit – dhuwit, satria – satriya.

- Tuladha ing tembung andhahan : rabi – rabia, wani – wania, tuku – tukua, lunga – lungaa.

b. Ejaan Basa Jawa mawi Aksara Jawa.
Sasampunipun agama Islam rumasuk ing tanah Jawa lan Walanda njajah bangsa Jawa, basa Jawa wiwit kenging dayanipun basa Arab lan Walanda.
Wiwit punika basa Jawa tepang swanten f, q lan z. Swanten punika dipunserat mawi aksara p, k lan s kawuwuhan ceret tiga ing nginggilipun aksara kasebut. Aksara daden-daden wau lajeng sinebat aksara rekan. Pranatan panyeratipun basa Jawa ngangge aksara Jawa ngantos samangke prayoganipun wiwit nggiunakaken Pedoman Penulisan Aksara Jawa ingkang dipunterbitaken dening Yayasan Pustaka Nusatama 1996.


BAB II WIDYA TEMBUNG

Widya tembung punika ngelmu ingkang nyinau bab tembung (morfologi). Tembung punika rerangkening swanten ingkang kawedhar lumantar tutuk ingkang ngemu teges lan kasumurupan suraosipun.

1. Wujudipun tembung.
Tembung Lingga (kata asal/dasar). Inggih punika tembung ingkang tasih wetah/wungkul/ wantah/asli, ingkang dereng rinaketan imbuhan. Tembung lingga wonten ingkang namung sawanda, kalih wanda, utawi tigang wanda. Wanda (suku kata).

Tuladha : gong, bom, las, cet, pari, pitik, wajan, jagung, rekasa, kulina, padharan, mustaka.

Wanda wonten kalih : wanda menga (suku terbuka) awit pungkasanipun wanda awujud vokal, lan wanda sigeg (suku tertutup) awit pungkasanipun wanda awujud konsonan.
Wod = akar kata. Wujudipun namung sakecap utawi sawanda. Sor, lur lan sup. Saged dipunpadosi tegesipun cendhek, dawa lan mlebu.
Endhek : asor, dlosor, ngisor.
Dawa : alur, ulur, mulur.
Manjing : susup, angslup, tlusup.
Etimologi : ngelmu ingkang nyinau tembung lingga ingkang asalipun saking tembung wod.

Tembung Andhahan.
Ing basa Indonesia dipunwastani kata jadian, lan tembung insampun owah saking lingganipun amargi dipunwuwuhi imbuhan. Wonten ingkang mastani bilih tembung andhahan punika tembung lingga ingkang sampun dipun rimbag. Pangrimbagipun tembung lingga dados tembung andhahan, kanthi muwuhaken imbuhan ing ngajeng, tengah utawi ing wingkingipun tembung lingga.

Imbuhan (afiks), wonten sekawan (4) inggih punika :
• ater-ater,
• seselan,
• panambang
• imbuhan bebarengan.

1). Ater-ater.
Ater-ater punika imbuhan ingkang mapan wonten kawitanipun tembung/ngajeng tembung.

Ater-ater ing basa Jawa kathah sanget kawimbuhan, ater-ater anuswara : a-, ka-, ke-, di-, sa-, pa-, pa anuswara-, pi-, pri-, pra-, tar-, kuma-, lan kapi-. Ater-ater wau panyeratipun tansah gandheng karliyan tembung linggane.

 Ater-ater anuswara (swara irung).
Ater-ater niki meh sami kaliyan awalan meng- ing basa Indonesia. Ingkang klebet ater-ater anuswara : m-, n-, ng- ny-.
Saged ugi dipunwastani ater-ater m-, n-, ng- ny- klebet alomorf ater-ater A-. Tembung lingga ingkang wiwitanipun aksara p, w, t, th, c, k, s manawi dipunwuwuhi ater-ater A-, aksara p, w, t, th, c, k, s ing kawitanipun tembung badhe luluh.

Tuladha :

m- + pacul - macul
m- + weling - meling
n + tutup - nutup
n + thuthuk - nuthuk
ng- + keplak - ngeplak
ny- + cacad - nyacad
ny- + suling - nyuling

Ing basa rinengga (ragam susastra), ater-ater a_ kalamangsanipun dados am (ham), an (han) ang (hang) lan any- (hany).

Tuladha :
m ---------- ham = mbalang ---- hambalang
An ---------- han = nuthuk ------ hamnuthuk
Ang -------- hang = nggodhog – hanggodhog
Any---------- hany = nyuwil ----- hanyuwil

Manawi sumambung kaliyan tembung lingga sawanda, ater-ater ng- malih dados nge- :

Ng + dol ------------- ngedol
Ng + cet ------------- ngecet
Nge + lap ----------- ngelap

Ater-ater anuswara saged ngowahi jinising tembung dados tembung kriya :

M + pecut --------------- mecut
M + becak --------------- mbecak
M + gambar ------------- nggambar
- Ater-ater a- -------------- abasa, aklambi
- Ater-ater ma A- (maN-) mangetan, manunggal
- Ater-ater ka- ----- kajupuk
- Ater-ater ke- ---- kejepit
- Ater-ater di- ----- dibalang/dipunbalang
- Ater-ater sa- ------- sagelas
- Ater-ater pa- anuswara – pa + enget – penget
- Ater-ater pi- --------- pitutur
- Ater-ater pri- -------- priangga
- Ater-ater pra- ------- pralambang
- Ater-ater tar- ------ tarkadang
- Ater-ater kuma- ----- kumawani
- Ater-ater kapi- ------- kapiadreng


2). Seselan.
- Seselan -um- --------- puminter – kuminter
- Seselan -in- --------- tinulis
- Seselan –er- lan -el- gerandhul, kelepyar

3). Panambang.
- panambang – lan ------ tambani
- panambang – a ----- tangia
- panambang – e (-ipun) ---- tindake, tindakipun
- panambang –en ------- cacingen
- panambang –an -------- kancingan
- panambang –na ------- lungguhna
- panambang –ana ----- kandhanana
- panambang –ane --------- gebugane
- panambang –ake (-aken) tulisake, serataken

4). Imbuhan Bebarengan.
(a) Imbuhan bebarengan rumaket :
- Imbuhan ka – - an ------ kabledhosan
- Imbuhan ke - – en --------- keciliken
- Imbuhan pa (A) - –an ------papringan
- Imbuhan pra- -an ----------pradesan
(b) Imbuhan bebarengan renggang.
- imbuhan A- - lan (Anuswara - -lan) ---nyokoti
- imbuhan A- -a (anuswara- -a) ------ mbalanga
- imbuhan A- -ake (Anuswara- -ake) – mbalamgake
- imbuhan A- -ana (Anuswara- -ana) –mbundhelana
- imbuhan A- -e (Anuswara- -e) mlakune
- imbuhan di- -lan -------- diwelingi
- imbuhan di- -a ----------- didhudhaha
- imbuhan di- -ana ---------- dijotosana
- imbuhan di- -ake ------- diwalesake
- imbuhan (-in-) –an/-ake/-ana - ginambaran, sinambungake, ditangisana
- imbuhan (-um-) –a --------- sumingkira
- Imbuhan sa- -e --------------- sacilike

Tembung Rangkep.
1) Dwipurwa. ------ bebungah
2) Dwilingga. ------ takon-takon
3) Dwiwasana. ----- cekikik
Tembung Camboran.
1) Camboran Wutuh. ------ dhadha menthok
2) Camboran Tugel. ------ lunglit

2. Jinising Tembung
a. Tembung Aran (kata benda/nomina). Inggih punika tembung ingkang nerangaken naminipun barang utawi punapa kemawon ingkang dipunanggep barang. Kathah-kathahipun saged sumambung kaliyan tembung dudu utawi ana lan ora.
Tembung aran wonten werni kalih :
1) tembung aran katon/konkrit. (pelem, krikil, sapi).
2) Tembung aran tan katon/abstrak. (ngelmu, kawasisan).
b. Tembung Kriya (kata kerja/verba). Inggih punika tembung ingkang nerangaken solah bawa utawi tandang gawe.
1) Kriya Tanduk (kata kerja aktif), inggih punika tembung kriya ingkang jejere (subyek) dados paraga. Tembung punika limrah kadhapuk lan kawuwuhan ater-ater (m-, n-, ng- lan ny-). Lan jejer tansah dados paraga ingkang nindakaken satunggalipun pakaryan. (upamipun : njawil, mlumpat, nulis, nuthuk).
a. Kriya tanduk ngangge lesan (kata kerja transitif). Tembung kriya tanduk lan tansah mbetahaken lesan (obyek). Padatan ngginakaken ater-ater anuswara (m, n, ng lan ny) lan panambang na utawa panambang ake.
b. Kriya tanduk tanpa lesan (kata kerja intransitif). Lan tembung kriya lan boten mbetahaken lesan (obyek).
Padatan ngginakaken ater-ater anuswara (m, n, ng, man, ny lan mer-).
2) Kriya Tanggap (kata kerja pasif), inggih punika tembung kriya ingkang jejeripun (subyek) dados sasaran (penderita). Tembung kriya tanggap limrah kadhapuk lan kawuwuhan ater-ater (di-, ka-, ke- lan seselan -in-). Upamane : dijawil, ditulis, dithuthuk, tinulis, thinuthuk, jinawil).
c. Tembung Sifat (adjektiva), ugi sinebat tembung watak utawa kaanan, inggih punika tembung ingkang saged nerngaken kawontenan utawi watak satunggaling barang utawi bab.
Tembung sifat saged dipunpilah dados kalih :
1). Tembung watak (boten saged owah) – drengki, srei, jail, uthil.
Tembung sifat saged sumandhing kaliyan tembung luwih, rada, paling, banget.
2). Tembung kahanan (saged owah) – mlarat, sugih, mulya, cilaka.
d. Tembung Katrangan (adverbia), inggih punika tembung ingkang nerangaken tembung sanes.

- Tembung katrangan lan nerangaken tembung aran.
(Kakangku dudu guru SMA).
- Tembung katrangan lan nerangaken tembung kriya.
(Adhiku asring nangis).
- Tembung katrangan nerangaken tembung sifat.

(Pak Broto piyayi rada galak).

- Tembung katrangan nerangaken tembung wilangan.

(Bukune kurang papat).

- Tembung katrangan sing nerangaken tembung katrangan.

(Aku ora tau mulih).

e. Tembung Sesulih (kata ganti utawa pronominal), inggih punika tembung ingkang dipunginakaken minangka sesulihipun tiyang, barang utawi punapa kemawon ingkang dipunanggep barang.






1) Sesulih Purusa (kata ganti orang).



Sesulih Purusa Ijen Akeh

Utama Purusa Aku, kula, ingsun, Kawula

Madyama Purusa Kowe, sampeyan, sira Kowe kabeh, panjenengan sadaya
Pratama Purusa Dheweke, piyampakipun



2) Sesulih Pandarbe (kata ganti empunya).

Sesulih Purusa Klitika
Aku Dak/tak -ku
Kowe Ko/kok, mang -mu
dheweke -e

3) Sesulih Panuduh (kata ganti penunjuk).
sesulih panuduh limrah = iki, iku/kuwi, punika lan nganu (anu).
sesulih panuduh papan = kene, kono, kana, ngriki, ngriku, ngrika, rene, rono, rana, mrene, mrono, mrana. sesulih panuduh sawijining bab = gene, ngono, ngana, makaten.
4) Sesulih Pitakon (kata ganti penanya utawi pronominal interogatif). Apa, sapa,
ngapa, yagene, piye, pira, endi, kapan.
5) Sesulih Panyilah (kata ganti penghubung utawi pronominal relatif). Nggantos
tembung ing babonipun ukara. Upamanipun sing, lan, ingkang.
6) Sesulih Sadhengah (kata ganti tak tentu/ indeterminatif), tembung kangge
gantosipun tiyang utawi barang sarta kawontenanipun dereng cetha.

Upamanipun ; sawijining, apa bae, sapa-sapa, saben uwong, salah siji.

f. Tembung Wilangan (kata bilangan/numeralia), tembung ingkang nerangaken gunggungipun barang/tiyang/khewan lan satunggaling bab.

1) Wilangan Babon/utuh/utama.

0 = enol (das)
1 = siji (eka)
2 = loro (dwi)
3 = telu (tri)
4 = papat (catur) 5 = lima (panca)
6 = enem (sad)
7 = pitu (sapta)
8 = wolu (hasta)
9 = sanga (nawa)

a) Wilangan kumpulan (upamane 11 = sewelas, 21 = selikur, 50 = seket, 1000 = sewu).
b) Wilangan sadhengah (upamane ; sithik, saperangan, sacuwil, akeh, kathak, sekedhik, sadaya ).
2) Wilangan Susun. (pisan, pindho, katelu, kaping pitu lsp.)
3) Wilangan Pecahan. (1/4 = seprapat, ½ = separo, 2/3 = rong protelon, ¾ = telung prapat lsp.).
g. Tembung Panggandheng (kata sambung utawi konjungsi).
Inggih punika tembung ingkang ginanipun kangge nggandhengaken ukaraya panjang setunggal lan sanesipun, murih ukara dados. Upaminipun (sawise, nalika, banjur, lajeng, sawangsulipun, ewadene).
Tembung panggandheng dipunpilah dados kalih :
1) panggendheng nglebet ukara (intrakalimat).
2) panggendheng jawi ukara (antarkalimat).
h. Tembung Ancer-ancer (kata depan/preposisi). Tembung ingkang ginanipun kangge ngancer-anceri papan utawi aran. (ing, kagem, miturut, amrih, kaya, dening, kaliyan).
i. Tembung Panyilah (kata sandang/artikula), punika tembung dipunangge nyilahake patrap, barang utawi satunggalipun bab. Limrah sumambung kaliyan tembung aran. (si, sang, ingkang, para).
j. Tembung Panyeru (kata seru/interjeksi), inggih punika tembung ingkang nggambaraken wedharipun raos remen, kaget, kuciwa, gela, susah lan gumun. (adhuh, ah, nah, lha, he, lho, oh, hore, eman, tobat, eman).


BAB III WIDYA UKARA

Widya ukara punika klebet peranganipun paramasastra ingkang ngrembag ukara, frasa lan klausa (Sintaksis). Tetiganipun boten saged dipunpisah amargi satunggal lan sanesipun wonten sambung rapetipun.

1. Frasa.
Frasa punika kelompok tembung kanthi tandha :
- Drajatipun monten antawisipun tembung lan klausa (sanginggilipun tembung sangandhapipun klausa).
- Dumados saking kalih tembung utawi langkung.
- Tembung-tembung ingkang kadhapuk ing frasa, urut-urutanipun boten kenging nglngkungi wasesa. Frasa racakipun dumados saking inti lan atribut (inti = diterangake, atribut = nerangake). Hukum DM = MD ing basa Indonesia.

Tuladha :
- Sepatu sandal
- Bocah lanang
- Klambi amoh
- Kandhang jaran
- Omah anyar

Warni-warninipun frasa :
a. Frasa Endosentrik.
Frasa ingkang namung nyebataken salah satunggal peranganipun, nanging perangan ingkang dipunsebat wau saged dados gantosipun perangan sanes.

Theklek kayu jati (- theklek kayu, - theklek jati).
Tape beras ketan (- tape beras, - tape ketan).

Ingkang naminipun jati punika peranganipun kajeng, naminipun ketan punika peranganipun wos/beras.

b. Frasa Eksosentrik.
Frasa ingkang salah satunggal peranganipun boten saged dados gantos perangan sanes.

Mas Tamrin mulih saka Pekalongan.
Mas Martono lagi lunga menyang Jakarta.

Dados boten saged dipunwastani :

Mas Tamrin mulih saka.
Mas Tamrin mulih Pekalongan.

Mas Martono lagi lunga menyang.
Mas Martono lagi lunga Jakarta.

Jinisipun frasa :
 Frasa Aran (nomina/benda). - Payung kertas.
 Frasa Kriya (verba/kerja). – arep mangan.
 Frasa Kaanan (adjektiva/keadaan). – cilik mentes.
 Frasa Wilangan (numeralia/bilangan). – telung wungkus.
 Frasa Katrangan (adverbia/keterangan). – mung bae.
 Sesulih (pronomina/ganti). – kowe kabeh.
 Ancer-ancer (preposisi/kata depan). – ing Kudus.

2. Klausa.
Rerangkenipun tembung ingkang saged ngudhar satunggaling gagasan (bab).
Klausa kedah wonten wasesanipun (predikat). Ing basa tulis klausa paling sekedhik dumados saking jejer + wasesa.

Dheweke kuwi // dokter khewan.
J W

3. Ukara.
Rerangkenipun tembung ingkang saged ngudhari satunggalipun kajeng. Pangrangkenipun tembung ngangge pranatan.

Tandha-tandha :
- Saged madeg piyambak.
- Saboten-botenipun dumados saking klausa (jejer + wasesa).
- Wiwitanipun ukara dipunserat aksara murda lan wekasanipun titik.
- Wonten lagunipun pocapan (intonasi).
- Aku sinau (ya klausa, ya ukara).
- malah dolan (frasa kriya).
- adhiku mala dolan (ya klausa, ya ukara).
- Aku sinau, adhiku malah dolan (ukara).

a. Jejer (subyek).
1) Jejer Awujud Tembung Aran/frasa aran.
2) Jejer Awujud Tembung Kriya/frasa kriya.
3) Jejer Awujud Tembung Kaanan/frasa kaanan.
4) Jejer Awujud Tembung Wilangan/krasa wilangan.
5) Jejer Awujud Tembung Sesulih Purusa/frasa sesulih purusa.

b. Wasesa (predikat).
1) Wasesa Awujud Tembung Kriya/frasa kriya.
2) Wasesa Awujud Tembung Kaanan/frasa kaanan.
3) Wasesa Awujud Tembung Aran/frasa aran.
4) Wasesa Awujud Tembung Wilangan/frasa wilangan.
5) Wasesa Awujud tembung/frasa ancer-ancer.

c. Lesan (obyek).
Yen wasesanipun tembung aran, kaanan utawa frasa ancer-ancer, ukara punika boten wonten lesanipun. Nanging manawi wasesanipun tembung kriya tanduk, lesan kedah wonten.

d. Geganep (pelengkap).
Rusmanto / ngirimi / Rusmini / wingka babad.
J W L Gg

Budi / nukokake / anakku / sepur-sepuran.
J W L Gg.

e. Panerang.
Mujudaken peranganipun tembung ingkang boten kedah wonten ing ukara. Saged mapan wonten ing pungkasanipun ukara, kawitanipun ukara lan antawisipun jejer lan wasesa.

Adhiku lara panas esuk mau.
Adhiku esuk mau lara panas.
Esuk mau adhuki lara panas.

4. Jinising Ukara.
a. Ukara tanduk lan tanggap.
1) Ukara tanduk (kalimat aktif).
Ukara ingkang wasesanipun tembung kriya tanduk, kanthi titikan padatan ngangge imbuhan anuswara (m-, n-, ng-, ny-).


Adhiku/lagi nggawe/ layangan / saka plastik.
J W L Gg



Bu Anis / menehi / putrane /sangu.
J W L Gg


Budi/ nukokake/adhine /dolanan.
J W L Gg


Nanik / nyulaki / meja guru.
J W L

2) Ukara tanggap (kalimat pasif).

Ukara ingkang wasesanipun tembung kriya tanggap, kanthi titikan padatan ngangge imbuhan anuswara (di, ka utawa seselan in).

Adhiku / didukani / bapak.
J W L


Wacan iki / katulis / nalika jaman Landa.
J W P

Mas Pur / winisudha / dadi sarjana ekonomi.
J W L

b. Ukara Lamba lan Camboran
1) Ukara Lamba.
Ukara ingkang dumados saking satunggal klausa. Tegesipun, ukara kasebut namung dumados saking jejer lan wasesa sarta dipuntambah lesan, geganep utawi panerang ingkang gunggungipun namung satunggal.

Widodo / seneng padu.
J W

2) Ukara Camboran.
Saben ukara dumados sakinlih klausa utawi laugkung. Jejer wasesanipun dumados langkung saking satunggal.

Dheweke teka nalika aku lagi mangan.

a) Camboran sejajar.
Ukara ingkang dumados saking kalih klausa utawi langkung lan klausa-klausa wau dipungandheng ngangge tembung panggandheng, lan ukara-ukara wau sadaya ukara inti.

Mbakyuku kuliah ing Jakarta lan adhiku ing Solo.

b) Camboran susun.
Ukara ingkang dumados saking kalih klausa utawi langkung, nanging antawisipun satunggal lan sanesipun wonten ingkang nguasani lan wonten ugi ingkang dipun kuasani.

- Mbak Yuli ora mangkat nyambut gawe jalaran lara panas.

Menawi dipunggatosaken klausa ingkang dipunserat kandel ing nginggil mujudaken klausa pang, klausa pang ngisi papanipun geganep.

c. Ukara Tema lan Rema.
Gatosaken ukara ngandhap punika.
- Bapak, blangkonipun radi miring.
- Mas Budi iki, tangane kenceng banget.

Perangan ingkang wonten ngajeng inggih punika

Bapak, Mas Budi iki, dipunwastani Topik (Tema).
Dene perangan ingkang wonten wingking, blangkonipun radi miring lan tangane kenceng banget,
dipunwastani komen/rema.

5. Warni-warninipun Ukara
a. Ukara Carita (kalimat berita).
Ukara carita inggih punika ukara ingkang isinipun nyritakaken satunggalipun bab utawi prastawa dhateng tiyang sanes. (Nalika aku nyang Rembang, ana prau layar kang kerem).

b. Ukara Pakon (kalimat perintah).
Ukara pakon inggih punika ukara ingkang suraosipun awujud pakon/prentah dhateng tiyang sanes, supados nindakaken pakaryan.

Ukara pakon, wonten werna gangsal :
1) Pakon lumrah. (Jogan kae sapunen).
2) Pakon pamenging. (Kowe ora kena lunga yen during rampung sinau).
3) Pakon pangajak. (Yen kepengin pinter, kudu sinau).
4) Pakon panantang. (Balangen, yen njaluk benjut sirahmu).
5) Pakon paminta. (Dhik, tulung jupukna kunci kontak ing meja).

c. Ukara Pitakon (kalimat Tanya).
1) Pitakon lumrah. (Pak Guru basa Jawa sing anyar iku asmane sapa ?).
2) Pitakon kang orang butuh wangsulan (retorika). (Sapa sing ora kepengin munggah kelas ?).
3) Pitakon paminta. (Piye yen jajan dhisik ?).

d. Ukara Sambawa (kalimat harapan). Inggih punika ukara ingkang isinipun awujud pengarep-arep, saupama utawa sanajan. Racakipun kawuwuhan imbuhan a utawi –ana. (Panasa ya gabahku ben garing. Sugiha dhuwit aku wis gawe omah. Ditangisana nganti lemes dheweke ora bakal urip maneh).

e. Ukara Sananta (niyat). Inggih punika ukara ingkang isinipun niyat, karep utawi sedya. (Sesuk awan aku arep ngundhuh jagung).
BAB IV WIDYA MAKNA

Widyamakna inggih punika ngelmu ingkang ngrembag bab teges lan bab-bab ingkang wonten gandhengenengipun kaliyan teges. Wudyaswara, widyatembung lan widyaukara, kedah nggatosaken widyamakna. Manawi boten nggatosaken makna, sadaya ingkang karembug boten wonten paedahipun.

Tuladha :
- Sepur numpak wong.
- Parmin numpak sepur.

Tuladha kasebat manawi kawawas manut pranataning ukara samwpun leres, amarga wonten jejeripun, wonten wasesanipun lan wonten lesanipun. Ananging ukara wau ingkang saged dipuntampi nalar namung ukara ingkang nomer kalih. Dados ngracik ukara boten namung waton leres strukturipun, nanging ugi kedah leres suraosipun. Tinampa nalar punapa boten, wonten gandheng-cenengipun kaliyan widyamakna.

Ingkang karembag ing Widyamakna :
1. Sinonim.
Sinonim = tembung kalih utawi langkung ingkang wujud lan panyeratipun benten, nanging tegesipun sami.

Jeneng = aran
Cepet = rikat
Langka = arang
Angslup = ambles
Adhem = atis

Nanging boten saben tembung ingkang sami tegesipun saged dipunangge ing sadhengah ukara.

Tuladha :

“Mas Budi ora seneng mangan sega adhem”.

Tembung adhem ora bisa diganti atis.

2. Antonim.
Antonim = tembung, frasa utawi ukara ingkang gadhah teges walikan kaliyan tembung, frasa utawi ukara sanesipun.

Tuladha :

Gedhe – cilik
Amba – ciyut
Dawa – cendhak
Pinter – bodho
Gampang – angel
Endhek – dhuwur

Antonim awujud frasa :

Sepedha motor kang anyar iku
Sepedha motor kang ora anyar iku

Antonim ing ukara :
Parmi lara untu
Parmi ora lara untu

3. Homonim.
Homonim = tembung setunggal ingkang seratanipun lan pangucapipun sarwa sami, nanging saged benten suraosipun.


Tuladha :
…….. ngukuri lemah.
…….. ngukuri geger.

…….. roti mawa keju.
Aja cedhak-cedhak mawa.

Mobile sedulurku sing antik, arep diedol.
Mobile sedulurku, sing antik, arep diedol.

Frasa sing antik ing ukara nginggil tegesipun ingkangn antik niku mobile, nanging manawi ingkang ngandhap, ingkang antik sedulurku.

a). Homofon.
Homofon = kalih tembung utawi langkung ingkang uelipun sami, nanging tegesipun benten. Utawi tembung kalih utawi langkung ingkang benten seratanipun lan suraosipun, nanging pocapan/ungelipun tembung sami utawa meh sami.

Anteb – antep (abot – tekad).
Kulub – kulup (gudhangan – anak).
Parab – parap (jeneng – tandha tangan).

b). Homograf.
Homograf = kalih tembung utawi langkung ingkang sami panyeratipun nanging boten sami tegesipun.

Teken – teken
Cemeng – cemeng
Kendel – kendel
Geger – geger
Meri – meri

4. Hiponim.
Hiponim klebet tembung ingkang tegesipun dipunanggep dados peranganipun tembung sanes utawi suraosipun tembung wontn panguaosipun tembung sanes.



Werna




Abang, putih, ijo, biru, kuning, jingga


5. Polisemi.
Polisemi mujudaken tembung ingkang ngemu teges langkung saking setunggal. Gampil dipunmangertosi manawi mapan ing ukara.



Babaran sampun kalih


Bayen weton uwis aja lan loro


6. Ambiguitas.
Ambiguitas iku tembung, frasa utawi ukara ingkang mangro teges.

Suduken = nyubles, lara weteng
Ngukuri = garuk-garuk, ngetung dawa
Sarungna = nyubles, nglebokake ing wrangka (keris).

7. Jinising makna.
a. Mringkus
Tembung ingkang suraosipun saya mringkus. Dados ingkang sakawit suraosipun pinten-pinten malih dados winates (mringkus).

Makna Bawera Makna Mringkus
Kaos


Sikil - kaos sport
- kaos pblong
- kaos kaki
- sikil meja
- skil gajah
- sikil jaran

b. Melar.
Makna ingkang langkung bawera tinimbang saderengipun.

Winates Bawera
Kembang

Amplop

wadhuk Kembang
Wong kang ayu
Amplop
Sogokan/suap
Weteng kewan
dam
c. Geseh.


Tembung
ndhisik
Saiki

Germa


Bajingan


Preman Wong kang gaweane bebedhak kewan galak

Sopir grobag


Nyandhang melu kaya wong lumar supaya ora kadenangan asline. Mucikari


Gawe cilaka liyan

Gentho

d. Makna Kognitif.
Makna kognitif utawi makna deskreptif utawi denotatif, inggih punika nedahaken sesambetan antawisipun gagasan ingkang wonten ing pikiran/konsep kaliyan kasunyatan.
- sega goreng
- tape goreng
- endhog ceplok

e. Makna Konotatif.
Suraosipun tembung/frasa, boten kados ingkang wonten ing tembung/frasa, nanging wonten teges sanes ingkang tumempel ing tembung/frasa punika.
- ngobongi kertas.
- ngobongi wong-wong ndesa ben demo.

f. Leksikal lan makna Gramatikal.
• Leksikal = nalika isih mandireng pribadi padha bae nalika digathukake ing ukara.
• Gramatikal = njumbuhake karo ukara.

Tuladha :
- Pitik angrem 21 dina wis netes. (leksikal).
- Parmi galak kaya pitik angrem. (gramatikal).

g. Referensial.
Makna ingkang langsung nuding ing ngajengipun utawi maknanipun wonten sambungipun kaliyan kasunyatan.

Tembung punika mujudaken lambang/simbol ingkang dados sarana nggandhengaken pikiran/ide kaliyan acuan /referen.

Tuladha :
• Montor mabur -- lambang/simbol.
• Sarana angkutan kang bisa mabur --- pikiran/ide.
• Gambar --- acuan


8. Aspek, kala lan modus.
a. Aspek.
Aspek punika nedahaken sawenehing tumindak lan jinising tumindak ingkang wonten sambungipun ing tembung kriya.
Aspek mbeberaken kawontenan. Dados sejatosipun aspek punika mligi sesambungan kaliyan wekdal, prastawa utawi proses ingkang nembe dipunrembag.

Tembung-tembung ingkang klebet aspek :
- wiwit
- lagi
- uwis
- isih
- bisa
- kerep
- kadhang
- tansah
- arang

b. Kala.
Kangge nedahaken wekdal :
- biyen
- wingi
- saiki
- sesuk
- sesuke
- suk emben

Dhek emben wingine wingi saiki sesuk sesuke Suk emben

- 2 - 1 0 +1 +2


c. Modus.
Modus rumaket ing tembung kriya lan nerangaken kawontenan kajiwan (psikologis) satunggaling tumindak miturut tafsiranipun badanipun piyambak (kang ngomong). Modus saged njlentrehaken panampi/sikep tiyang ingkang rembagan.

Wujuding modus arupi tembung :
- arep
- mesthi
- bisa
- entuk
- Kepengin
- kudu

Wujuding modus arupi frasa :
- arep bisa
- mesthi bisa
- manut pangiraku
9. Arah
Arah basa Jawi sami kaliyan arah basa Indonesia, inggih punika ler, kidul, wetan lan kilen.
Supaya cetha gatekna gambar ing ngisor iki.


Ler

Lor kilen lor wetan


Kulon wetan


Kidul kulon kidul wetan

Kidul
Baca Selengkapnya.. … KAELOKANE BASA JAWA

Terima Kasih